Kamis, 28 Maret 2013

Ketika Teater Bicara Soal Televisi



Buruknya perkembangan budaya televisi dan industri hiburan, rupanya tidak luput dari perhatian para seniman kampus. Seperti yang terlihat pada pementasan drama “Warung Kopi Panas” yang dimainkan Teater Karoeng FISIB Unpak dalam kegiatan Tawuran Topeng VII, 13-14 Desember 2012 kemarin. Dengan gaya permainan realis, sesuai dengan naskahnya, pertunjukan itu mendapat apresiasi yang baik dari para penonton, meskipun ada beberapa kesalahan yang sempat terjadi tanpa disadari. Drama berdurasi sekitar 30 menit itu bercerita tentang sebuah situasi di warung kopi milik Ibu Lela yang tiba-tiba menjadi panas setelah Dedi, seorang sutradara pertunjukan drama, tidak bisa menerima kritikan yang dilontarkan padanya.
 Kisah dimulai dengan Dedi yang sewot sendiri lantaran berita pementasannya tidak dimuat di koran. Tak lama berselang, muncullah Ratna dan Indra, dua pegawai kantoran. Dedi merasa tertarik dengan Ratna hingga dia mengajak wanita itu bermain dalam pertunjukannya. Ratna yang memang berkeinginan menjadi aktris pun langsung menerima tawaran itu. Di sisi lain, Indra dan Lela rupanya tidak menyukai hal itu, karena belakangan diketahui bahwa Dedi adalah seorang mantan sutradara sinetron malam yang dikenal suka “mengoleksi” wanita cantik. Dedi tidak mengakui hal itu dan bersikeras bahwa dirinya adalah sutradara drama yang baik, dengan karya yang tidak pernah gagal.
Suasana semakin panas ketika Yoga, seorang wartawan, datang dan ikut mengkritik Dedi. Mendapat serangan bertubi-tubi seperti itu, Dedi pun akhirnya lepas kendali dan berkelahi dengan Indra. Ratna, yang masih berharap bisa menjadi seorang aktris, mencoba melerai perkelahian itu. Sementara Yoga malah sibuk memotret kejadian itu untuk dijadikan bahan berita.
Naskah karya Endang Supriatna atau yang lebih dikenal dengan Nana gemblong ini dengan jelas mengkritik budaya televisi dan industri hiburan kita, serta para pelakunya. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam cerita ini jelas mewakili pihak-pihak yang bisa kita temukan dengan mudah di dunia nyata. Sosok Dedi, misalnya, merupakan gambaran pelaku perfilman yang lebih mementingkan nilai jual dan kepuasan pribadi dibanding nilai etika dan etis. Banyak film-film saat ini, baik sinetron ataupun film layar lebar, yang tidak layak untuk dipertontonkan.  Mulai dari cerita yang tidak mendidik dan hanya menjual mimpi, pemeran berwajah cantik atau tampan tapi berkemampuan minim, penggarapan yang tidak maksimal, dan lain-lain. Kondisi itu tentu menghawatirkan apalagi mengingat bahwa menonton televisi merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan masyarakat. Bahkan, televisi dianggap sebagai faktor penting dalam membentuk kesadaran dan kecerdasan masyarakat.
Ratna, tokoh selanjutnya, menggambarkan sindrom selebriti yang mengidap dalam benak masyarakat. Memang, dunia televisi tidak saja menjanjikan ketenaran, tapi juga kemapanan sehingga banyak orang yang bermimpi bisa menjadi selebriti, karena profesi itu dianggap sebagai jalan pintas yang efektif selain menjadi PNS (Pegawai Negri Sipil-red). Tapi sepertinya ada beberapa hal yang mereka lupakan, misalnya bahwa menjadi selebriti pun harus diimbangi dengan kemampuan dan tanggung jawab. Yang terjadi di tengah kita saat ini adalah merebaknya artis yang tidak “artistik”. Sementara Yoga bisa dengan mudah kita bandingkan dengan banyaknya wartawan yang senang mencari keuntungan dari profesinya hingga terkadang melupakan tugas mereka sebenarnya.
Kritik sosial yang terkandung dalam naskah “Warung Kopi Panas” itulah yang membuat Dimas Hadi memilihnya untuk dipentaskan dalam Tawuran Topeng VII. Menurutnya naskah itu menggambarkan salah satu kondisi sosial-budaya yang merebak di masyarakat kita.
“Kami mencoba mengangkat persoalan sosial-budaya yang ada di tengah masyarakat. Dan dengan pementasan ini, kami berharap semua orang akan kembali berfikir dan mencerna apa yang ada di sekitar mereka, sebelum mereka memutuskan untuk menerimanya.” Tutur Dimas yang dipercaya menyutradarai pementasan itu.
Tawuran Topeng sendiri merupakan program tahunan Teater Karoeng FISIB Unpak yang telah dilaksanakan untuk ke-tujuh kalinya. Bertempat di Auditorium Universitas Pakuan, kegiatan ini biasa menampilkan pertunjukan drama dan teater dari beberapa komunitas teater di Bogor.  Dalam Tawuran Topeng VII yang dilaksanakan selama dua hari itu, setidaknya ada sepuluh komunitas kesenian yang terlibat. Para penonton pun tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa, namun pelajar dan masyarakat umum serta para seniman Kota Bogor tampak juga hadir di sana.

Ditulis oleh: Husni Mubarok
Sumber: http://husnimubabrok.wordpress.com/2013/03/26/ketika-teater-bicara-soal-televisi/
Juga bisa dibaca di Buletin Seni Budaya "Kamuning" Edisi Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar