Buruknya perkembangan
budaya televisi dan industri hiburan, rupanya tidak luput dari perhatian para
seniman kampus. Seperti yang terlihat pada pementasan drama “Warung Kopi Panas”
yang dimainkan Teater Karoeng FISIB Unpak dalam kegiatan Tawuran Topeng VII, 13-14
Desember 2012 kemarin. Dengan gaya permainan realis, sesuai dengan naskahnya,
pertunjukan itu mendapat apresiasi yang baik dari para penonton, meskipun ada
beberapa kesalahan yang sempat terjadi tanpa disadari. Drama berdurasi sekitar
30 menit itu bercerita tentang sebuah situasi di warung kopi milik Ibu Lela yang
tiba-tiba menjadi panas setelah Dedi, seorang sutradara pertunjukan drama,
tidak bisa menerima kritikan yang dilontarkan padanya.
Kisah dimulai dengan Dedi yang sewot sendiri
lantaran berita pementasannya tidak dimuat di koran. Tak lama berselang,
muncullah Ratna dan Indra, dua pegawai kantoran. Dedi merasa tertarik dengan Ratna
hingga dia mengajak wanita itu bermain dalam pertunjukannya. Ratna yang memang
berkeinginan menjadi aktris pun langsung menerima tawaran itu. Di sisi lain, Indra
dan Lela rupanya tidak menyukai hal itu, karena belakangan diketahui bahwa Dedi
adalah seorang mantan sutradara sinetron malam yang dikenal suka “mengoleksi”
wanita cantik. Dedi tidak mengakui hal itu dan bersikeras bahwa dirinya adalah
sutradara drama yang baik, dengan karya yang tidak pernah gagal.
Suasana semakin panas
ketika Yoga, seorang wartawan, datang dan ikut mengkritik Dedi. Mendapat serangan
bertubi-tubi seperti itu, Dedi pun akhirnya lepas kendali dan berkelahi dengan
Indra. Ratna, yang masih berharap bisa menjadi seorang aktris, mencoba melerai
perkelahian itu. Sementara Yoga malah sibuk memotret kejadian itu untuk
dijadikan bahan berita.
Naskah karya Endang
Supriatna atau yang lebih dikenal dengan Nana gemblong ini dengan jelas
mengkritik budaya televisi dan industri hiburan kita, serta para pelakunya. Tokoh-tokoh
yang dimunculkan dalam cerita ini jelas mewakili pihak-pihak yang bisa kita temukan
dengan mudah di dunia nyata. Sosok Dedi, misalnya, merupakan gambaran pelaku
perfilman yang lebih mementingkan nilai jual dan kepuasan pribadi dibanding
nilai etika dan etis. Banyak film-film saat ini, baik sinetron ataupun film
layar lebar, yang tidak layak untuk dipertontonkan. Mulai dari cerita yang tidak mendidik dan
hanya menjual mimpi, pemeran berwajah cantik atau tampan tapi berkemampuan
minim, penggarapan yang tidak maksimal, dan lain-lain. Kondisi itu tentu
menghawatirkan apalagi mengingat bahwa menonton televisi merupakan kegiatan
yang paling banyak dilakukan masyarakat. Bahkan, televisi dianggap sebagai
faktor penting dalam membentuk kesadaran dan kecerdasan masyarakat.
Ratna, tokoh
selanjutnya, menggambarkan sindrom selebriti yang mengidap dalam benak
masyarakat. Memang, dunia televisi tidak saja menjanjikan ketenaran, tapi juga
kemapanan sehingga banyak orang yang bermimpi bisa menjadi selebriti, karena
profesi itu dianggap sebagai jalan pintas yang efektif selain menjadi PNS
(Pegawai Negri Sipil-red). Tapi sepertinya ada beberapa hal yang mereka
lupakan, misalnya bahwa menjadi selebriti pun harus diimbangi dengan kemampuan
dan tanggung jawab. Yang terjadi di tengah kita saat ini adalah merebaknya
artis yang tidak “artistik”. Sementara Yoga bisa dengan mudah kita bandingkan
dengan banyaknya wartawan yang senang mencari keuntungan dari profesinya hingga
terkadang melupakan tugas mereka sebenarnya.
Kritik sosial yang
terkandung dalam naskah “Warung Kopi Panas” itulah yang membuat Dimas Hadi
memilihnya untuk dipentaskan dalam Tawuran Topeng VII. Menurutnya naskah itu
menggambarkan salah satu kondisi sosial-budaya yang merebak di masyarakat kita.
“Kami mencoba
mengangkat persoalan sosial-budaya yang ada di tengah masyarakat. Dan dengan
pementasan ini, kami berharap semua orang akan kembali berfikir dan mencerna
apa yang ada di sekitar mereka, sebelum mereka memutuskan untuk menerimanya.”
Tutur Dimas yang dipercaya menyutradarai pementasan itu.
Tawuran Topeng sendiri
merupakan program tahunan Teater Karoeng FISIB Unpak yang telah dilaksanakan
untuk ke-tujuh kalinya. Bertempat di Auditorium Universitas Pakuan, kegiatan
ini biasa menampilkan pertunjukan drama dan teater dari beberapa komunitas
teater di Bogor. Dalam Tawuran Topeng
VII yang dilaksanakan selama dua hari itu, setidaknya ada sepuluh komunitas
kesenian yang terlibat. Para penonton pun tidak hanya berasal dari kalangan
mahasiswa, namun pelajar dan masyarakat umum serta para seniman Kota Bogor
tampak juga hadir di sana.
Ditulis oleh: Husni Mubarok
Sumber: http://husnimubabrok.wordpress.com/2013/03/26/ketika-teater-bicara-soal-televisi/
Juga bisa dibaca di Buletin Seni Budaya "Kamuning" Edisi Maret 2013
Ditulis oleh: Husni Mubarok
Sumber: http://husnimubabrok.wordpress.com/2013/03/26/ketika-teater-bicara-soal-televisi/
Juga bisa dibaca di Buletin Seni Budaya "Kamuning" Edisi Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar