Korupsi
adalah salah satu mitos yang senantiasa mengiringi sejarah pemerintahan
Indonesia. Saya katakan mitos karena konsistensi kehadirannya yang seolah tidak
ada tetapi ada, seolah ada tapi tidak ada. Kisah-kisah tentang korupsi bisa
dengan mudah kita temukan atau dengar dan dengan mudah pula kisah itu hilang,
entah dalam cerita mulut ke mulut, kabar-kabar di media informasi, hingga
catatan-catatan fiksi dan non fiksi. Sebuah pembuka yang penuh basa-basi, ya?
Tapi tak apalah, supaya terlihat sedikit lucu. “Terlihat”, lho.
Kesenian
adalah salah satu media yang juga sering digunakan untuk membicarakan korupsi.
Sastra, rupa, musik, drama, dan bentuk kesenian lain pasti pernah bicara
tentang kelakuan bejad manusia yang satu itu. Salah satu yang akan saya coba
ulas di tulisan ini ialah dalam drama monolog “Kasir Kita” karya Arifin C.
Noer, yang pada akhir bulan April 2013 kemarin sempat dipentaskan oleh Teater
Karoeng FISIB Univ. Pakuan di Sukabumi dan Bogor.
“Kasir Kita”
berkisah tentang seorang kasir perusahaan dagang besar bernama Misbah Djazuli.
Suatu pagi, Misbah memutuskan tidak masuk kantor karena keadaan hati dan
jiwanya sedang tidak baik. Dia bercerita tentang persoalan yang dialaminya. Semuanya
bermula karena istrinya yang sangat cantik. Saking cantiknya, Misbah termakan
cemburu ketika melihat istrinya bicara tertawa-tawa dengan mantan kekasihnya
ketika SMA dulu, di rumahnya. Entah bagaimana prosesnya, yang jelas karena kejadian
itu mereka bercerai. Bagi Misbah, perceraian itu ternyata bukanlah solusi,
karena yang dia rasakan setelahnya adalah penyesalan yang luar biasa. Dalam
keadaan tertekan seperti itu, Misbah mengambil jalan pintas dengan
“bermain-main” perempuan. Lebih dari itu, uang kantor pun dipakai olehnya. Dan
seluruh persoalan itu kini berbalik menghajar Misbah. Pertama, dia tertekan
oleh perasaan menyesal dan kerinduan pada istrinya. Ke dua, dia tertekan oleh
perempuan “mainannya” yang senantiasa menteror di saat yang tidak tepat. Ke
tiga, dia dihantui pertanggung-jawaban sebagai kasir mengingat sebentar lagi
kantornya akan mengadakan audit. Seluruh persoalan itu menindih pundak Misbah
di Jumat pagi, membuatnya mengambil keputusan untuk tidak masuk kantor. Terbawa
emosi, Misbah berkesimpulan untuk membunuh mantan istri dan kekasihnya itu, yang
dianggap sebagai sumber malapetaka dalam kehidupannya. Misbah bahkan
beranggapan keberadaan mereka akan membahayakan masyarakat. Dengan berlagak
seperti pembunuh, dia merangkai rencana pembunuhan itu hingga apa yang akan
terjadi setelahnya. Menurut Misbah, hal itu harus dia lakukan demi kebaikan
umat manusia. Tapi niat itu pun mentah ketika dia ingat akan nasib kedua
anaknya. Di akhir cerita, Misbah memutuskan untuk menghadapai semua
persoalannya itu dengan cara yang baik.
Meski terkesan
tragis, suasana komedi tetap kental dalam monolog tersebut. Setidaknya, seperti
itu juga yang ditampilkan oleh Acun sebagai aktor dan Nana Gemblong sebagai
sutradara. Acun bermain cukup bagus menurut saya, tapi secara keseluruhan, ada beberapa aspek dalam pertunjukan itu yang tidak maksimal, misalnya konsep artistik, musik, dan blocking. Alur cerita yang maju-mundur ditambah kombinasi keterjebakan Misbah
pada perasaan dan kesadaran bahwa dia sedang bercerita, membuat grafis emosi
pada monolog ini naik-turun. Di kalangan penikmat drama, naskah ini cukup
populer karena banyak hal. Ditulis pada tahun 1971, kemunculan naskah ini tidak
bisa dilepaskan dengan kondisi perekonomian di Indonesia, terutama dengan dibentuknya
Kadin (Kamar Dagang Indonesia).
Setelah 40
tahun sejak naskah itu dibuat, rupanya kaitannya dengan realita sosial masih
erat. Kegiatan korupsi di Indonesia bukannya semakin surut namun malah makin
pelik. Pelakunya jelas orang-orang yang berurusan dengan uang. Ironisnya (mohon
tidak melepaskan ironi dari praktik korupsi untuk menjaga kekotorannya),
korupsi juga marak dilakukan di kalangan politisi yang notabene mengurus
kesejahteraan rakyat. Padahal Pancasila dan UUD ’45 dengan jelas menyatakan
bahwa negara wajib mengurus kesejahteraan rakyat dan segala hal yang berkaitan
dengan itu. Kesejahteraan rakyat, lho, bukan kesejahteraan wakil rakyat.
Setidaknya, begitulah pemahaman yang diajarkan pada saya sejak Sekolah Dasar
dulu. Saya jadi bertanya-tanya, di mana para koruptor itu sekolah. Apakah guru
mereka tidak mengajarkan Pancasila dan UUD ’45 yang senantiasa dibacakan setiap
hari senin itu?
Kembali pada
kisah Misbah Djazuli. Dalam lakon “Kasir Kita”, Misbah berkenalan dengan
korupsi sejak dia memiliki perempuan mainan. Meski tidak dijelaskan dengan
rinci, tapi kita bisa menangkap bahwa dia menggunakan uang kantornya untuk
bersenang-senang bersama perempuan mainannya itu. Sebenarnya kata
“bersenang-senang” terasa kurang tepat, karena bagaimana pun, Misbah melakukan
itu sebagai sebuah pelarian atas rasa penyesalannya. “Pelarian”, bagaimana pun,
tidak pernah menjadi solusi.
Ada dua hal
yang membuat Misbah sedikit sadar. Pertama, mantan istrinya yang sejak seminggu
ini sering menelponnya untuk sekedar bertanya kabar atau ngobrol-ngbrol. Misbah
berpikir bahwa tindakan itu adalah upaya sang mantan istri untuk memperbaiki
hubungan dengannya. Pemikiran itu pun menghanyutkannya hingga kemudian dia
mendepak perempuan-perempuan mainannya. Di akhir cerita, diketahui bahwa
ternyata mantan istrinya itu ingin memperkenalkan Misbah kepada calon suami
barunya. Ke dua, kejadian itu pun bertepatan dengan akhir tahun dimana
kantornya akan melakukan audit keuangan, dan Misbah baru sadar bahwa ternyata
dia telah menggunakan uang kantor untuk keperluan pelariannya.
Sekilas, yang
muncul tentang penyebab Misbah korupsi ialah wanita. Beberapa orang yang saya
tanya pun kebanyakan menjawab seperti itu. Entah kenapa, ketika ada sosok
wanita dalam sebuah kasus korupsi, maka banyak juga mata yang menengok padanya,
seringkali kemudian lupa pada persoalan sebenarnya. Tak jauh berbeda dengan kenyataan
yang sering kita temui sekarang pun, kasus-kasus korupsi sering kali berkaitan
dengan wanita, dan topik pun mendadak berubah arah. Seperti yang saat ini
sedang hangat dibicarakan, sehangat daging sapi yang sedang digoreng di minyak
panas. Cessss……
Apakah gejala
tersebut menunjukan bahwa masyarakat kita masih patriakis?
Dalam kisah
Mizbah Djazuli, dan saya rasa dalam kisah koruptor mana pun, penyebabnya tentu
saja bermula dari si pelaku itu sendiri, yaitu ketidak-mampuannya dalam
memanage dan mengendalikan hasrat, atau yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai keinginan yang sangat besar. Mungkin itu sebabnya Iwan Fals,
dalam salah satu lagunya pernah menulis, “keinginan adalah sumber penderitaan.”
Keinginan yang terlalu besar tanpa bisa dikendalikan sama dengan malapetaka.
Entah bagi diri sendiri maupun orang lain.
Hasrat tentu
saja berbeda dengan kebutuhan. Persoalannya, peradaban sekarang ini membuat
batas antara kebutuhan dan keinginan begitu tipis. Ada distorsi besar-besaran
terhadap hasrat yang menjadi begitu dimanjakan hingga ia tampil sebagai sebuah
kebutuhan. Merebaknya konsumerisme jelas memiliki andil yang besar terhadap hal
itu. Koruptor tentu saja adalah orang-orang konsumtif, atau, bila perlu saya
tulis, orang-orang yang terlampau percaya bahwa kebahagiaan akan diraih dengan
mengkonsumsi, membeli, memiliki kemewahan (fisik dan non-fisik). Bagi
kebanyakan pria, perempuan adalah objek kepuasan, terutama kepuasan seksual.
Selain itu, wanita juga dianggap pelengkap bagi kekuasaan pria. Pendekatan yang
paling banyak dilakukan adalah dengan memanfaatkan hasrat perempuan untuk
tampil cantik dan mewah. Disitulah seorang koruptor hadir sebagai pintu bagi
kepuasan hasratnya. Sekali saja dua sosok ini bertemu, maka korupsi pun akan
menemukan jalannya.
Menurut saya sumber
persoalannya bukanlah wanita, tapi pengendalian hasrat si manusia itu sendiri,
entah lelaki, perempuan, maupun banci. Jadi tidak perlu lah kita membicarakan
sosok-sosok wanita mainan itu, apalagi sampai mempopulerkannya. Itu sama saja
dengan membiaskan persoalan sebenarnya, menjadikannya kabur. Hingga akhirnya kita lupa pada
persoalan yang sebenarnya, yaitu kejahatan moral, spiritual, sosial, politis,
dan kultural.
Dalam kasus
Misbah Djazuli, wanita dihadirkan dalam dua fungsi, yaitu fungsinya sebagai
penyeimbang (diwakili oleh istrinya) dan fungsi sebagai pemenuhan kepuasan
(diwakili oleh perempuan mainannya). Setelah bercerai, keterpurukan Misbah
membawanya berpikir untuk mencari pengganti. Sayangnya proses itu tidak
dilakukan dengan sadar dan dengan akal sehat, tapi merupakan upaya frustatif.
Dari perempuan mainannya itu, dia hanya merasakan satu fungsi saja. Keadaan
itulah yang membuatnya semakin terpuruk dalam ketersesatan.
Dari kisah
Misbah Djazuli kita bisa melihat bahwa lelaki bukanlah mahluk superior yang
bisa menguasai perempuan. Penyesalan dan keterpurukan Misbah jelas disebabkan
oleh ketergantungannya akan kehadiran perempuan, entah sebagai penyeimbang
maupun objek kepuasan. Seandainya Misbah bisa mengendalikan hasratnya, tentu
saja praktik korupsi itu tidak akan dia lakukan, meskipun dia mengenalnya, atau
bahkan sering melihat hal itu dilakukan rekan kerjanya. Saya rasa hal itu juga
berlaku pada kita dalam kehidupan nyata. Memiliki banyak harta tentu merupakan
godaan yang dahsyat. Di situlah kita diuji. Seandainya kita biasa berlatih
mengendalikan hasrat, menimbang mana kebutuhan dan mana yang sekedar keinginan,
tentu kita tidak akan melakukan korupsi atau tindakan pencurian lainnya.
Untuk
melengkapi tulisan ini, saya ingin menyampaikan bagaimana akhirnya Misbah sadar
dan memilih untuk menghadapi dan mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Setelah
dia berencana membunuh istri dan calon suaminya, Misbah terbayang-bayang akan
dua anaknya yang masih belia. Kepolosan dan kejujuran mereka melembutkan hari
Misbah. Kelembutan itulah yang kemudian memberinya kekuatan untuk kembali
menjadi kasir yang baik. Seandainya semua koruptor juga berpikir seperti
Misbah, bahwa bukankah dengan korupsi, maka mereka pun menanamkan kejahatan
dalam daging anak-anaknya? Semoga saja benar-benar ada Misbah Djazuli dalam
kehidupan nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar