Selasa, 14 Mei 2013

Perempuan dan Koruptor dalam monolog "Kasir Kita" karya Arifin C. Noor

MubaBrok | infoteaterbogor


Korupsi adalah salah satu mitos yang senantiasa mengiringi sejarah pemerintahan Indonesia. Saya katakan mitos karena konsistensi kehadirannya yang seolah tidak ada tetapi ada, seolah ada tapi tidak ada. Kisah-kisah tentang korupsi bisa dengan mudah kita temukan atau dengar dan dengan mudah pula kisah itu hilang, entah dalam cerita mulut ke mulut, kabar-kabar di media informasi, hingga catatan-catatan fiksi dan non fiksi. Sebuah pembuka yang penuh basa-basi, ya? Tapi tak apalah, supaya terlihat sedikit lucu. “Terlihat”, lho.
Kesenian adalah salah satu media yang juga sering digunakan untuk membicarakan korupsi. Sastra, rupa, musik, drama, dan bentuk kesenian lain pasti pernah bicara tentang kelakuan bejad manusia yang satu itu. Salah satu yang akan saya coba ulas di tulisan ini ialah dalam drama monolog “Kasir Kita” karya Arifin C. Noer, yang pada akhir bulan April 2013 kemarin sempat dipentaskan oleh Teater Karoeng FISIB Univ. Pakuan di Sukabumi dan Bogor.
“Kasir Kita” berkisah tentang seorang kasir perusahaan dagang besar bernama Misbah Djazuli. Suatu pagi, Misbah memutuskan tidak masuk kantor karena keadaan hati dan jiwanya sedang tidak baik. Dia bercerita tentang persoalan yang dialaminya. Semuanya bermula karena istrinya yang sangat cantik. Saking cantiknya, Misbah termakan cemburu ketika melihat istrinya bicara tertawa-tawa dengan mantan kekasihnya ketika SMA dulu, di rumahnya. Entah bagaimana prosesnya, yang jelas karena kejadian itu mereka bercerai. Bagi Misbah, perceraian itu ternyata bukanlah solusi, karena yang dia rasakan setelahnya adalah penyesalan yang luar biasa. Dalam keadaan tertekan seperti itu, Misbah mengambil jalan pintas dengan “bermain-main” perempuan. Lebih dari itu, uang kantor pun dipakai olehnya. Dan seluruh persoalan itu kini berbalik menghajar Misbah. Pertama, dia tertekan oleh perasaan menyesal dan kerinduan pada istrinya. Ke dua, dia tertekan oleh perempuan “mainannya” yang senantiasa menteror di saat yang tidak tepat. Ke tiga, dia dihantui pertanggung-jawaban sebagai kasir mengingat sebentar lagi kantornya akan mengadakan audit. Seluruh persoalan itu menindih pundak Misbah di Jumat pagi, membuatnya mengambil keputusan untuk tidak masuk kantor. Terbawa emosi, Misbah berkesimpulan untuk membunuh mantan istri dan kekasihnya itu, yang dianggap sebagai sumber malapetaka dalam kehidupannya. Misbah bahkan beranggapan keberadaan mereka akan membahayakan masyarakat. Dengan berlagak seperti pembunuh, dia merangkai rencana pembunuhan itu hingga apa yang akan terjadi setelahnya. Menurut Misbah, hal itu harus dia lakukan demi kebaikan umat manusia. Tapi niat itu pun mentah ketika dia ingat akan nasib kedua anaknya. Di akhir cerita, Misbah memutuskan untuk menghadapai semua persoalannya itu dengan cara yang baik.
Meski terkesan tragis, suasana komedi tetap kental dalam monolog tersebut. Setidaknya, seperti itu juga yang ditampilkan oleh Acun sebagai aktor dan Nana Gemblong sebagai sutradara. Acun bermain cukup bagus menurut saya, tapi secara keseluruhan, ada beberapa aspek dalam pertunjukan itu yang tidak maksimal, misalnya konsep artistik, musik, dan blocking. Alur cerita yang maju-mundur ditambah kombinasi keterjebakan Misbah pada perasaan dan kesadaran bahwa dia sedang bercerita, membuat grafis emosi pada monolog ini naik-turun. Di kalangan penikmat drama, naskah ini cukup populer karena banyak hal. Ditulis pada tahun 1971, kemunculan naskah ini tidak bisa dilepaskan dengan kondisi perekonomian di Indonesia, terutama dengan dibentuknya Kadin (Kamar Dagang Indonesia).
Setelah 40 tahun sejak naskah itu dibuat, rupanya kaitannya dengan realita sosial masih erat. Kegiatan korupsi di Indonesia bukannya semakin surut namun malah makin pelik. Pelakunya jelas orang-orang yang berurusan dengan uang. Ironisnya (mohon tidak melepaskan ironi dari praktik korupsi untuk menjaga kekotorannya), korupsi juga marak dilakukan di kalangan politisi yang notabene mengurus kesejahteraan rakyat. Padahal Pancasila dan UUD ’45 dengan jelas menyatakan bahwa negara wajib mengurus kesejahteraan rakyat dan segala hal yang berkaitan dengan itu. Kesejahteraan rakyat, lho, bukan kesejahteraan wakil rakyat. Setidaknya, begitulah pemahaman yang diajarkan pada saya sejak Sekolah Dasar dulu. Saya jadi bertanya-tanya, di mana para koruptor itu sekolah. Apakah guru mereka tidak mengajarkan Pancasila dan UUD ’45 yang senantiasa dibacakan setiap hari senin itu?
Kembali pada kisah Misbah Djazuli. Dalam lakon “Kasir Kita”, Misbah berkenalan dengan korupsi sejak dia memiliki perempuan mainan. Meski tidak dijelaskan dengan rinci, tapi kita bisa menangkap bahwa dia menggunakan uang kantornya untuk bersenang-senang bersama perempuan mainannya itu. Sebenarnya kata “bersenang-senang” terasa kurang tepat, karena bagaimana pun, Misbah melakukan itu sebagai sebuah pelarian atas rasa penyesalannya. “Pelarian”, bagaimana pun, tidak pernah menjadi solusi.
Ada dua hal yang membuat Misbah sedikit sadar. Pertama, mantan istrinya yang sejak seminggu ini sering menelponnya untuk sekedar bertanya kabar atau ngobrol-ngbrol. Misbah berpikir bahwa tindakan itu adalah upaya sang mantan istri untuk memperbaiki hubungan dengannya. Pemikiran itu pun menghanyutkannya hingga kemudian dia mendepak perempuan-perempuan mainannya. Di akhir cerita, diketahui bahwa ternyata mantan istrinya itu ingin memperkenalkan Misbah kepada calon suami barunya. Ke dua, kejadian itu pun bertepatan dengan akhir tahun dimana kantornya akan melakukan audit keuangan, dan Misbah baru sadar bahwa ternyata dia telah menggunakan uang kantor untuk keperluan pelariannya.
Sekilas, yang muncul tentang penyebab Misbah korupsi ialah wanita. Beberapa orang yang saya tanya pun kebanyakan menjawab seperti itu. Entah kenapa, ketika ada sosok wanita dalam sebuah kasus korupsi, maka banyak juga mata yang menengok padanya, seringkali kemudian lupa pada persoalan sebenarnya. Tak jauh berbeda dengan kenyataan yang sering kita temui sekarang pun, kasus-kasus korupsi sering kali berkaitan dengan wanita, dan topik pun mendadak berubah arah. Seperti yang saat ini sedang hangat dibicarakan, sehangat daging sapi yang sedang digoreng di minyak panas. Cessss……
Apakah gejala tersebut menunjukan bahwa masyarakat kita masih patriakis?
Dalam kisah Mizbah Djazuli, dan saya rasa dalam kisah koruptor mana pun, penyebabnya tentu saja bermula dari si pelaku itu sendiri, yaitu ketidak-mampuannya dalam memanage dan mengendalikan hasrat, atau yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keinginan yang sangat besar. Mungkin itu sebabnya Iwan Fals, dalam salah satu lagunya pernah menulis, “keinginan adalah sumber penderitaan.” Keinginan yang terlalu besar tanpa bisa dikendalikan sama dengan malapetaka. Entah bagi diri sendiri maupun orang lain.
Hasrat tentu saja berbeda dengan kebutuhan. Persoalannya, peradaban sekarang ini membuat batas antara kebutuhan dan keinginan begitu tipis. Ada distorsi besar-besaran terhadap hasrat yang menjadi begitu dimanjakan hingga ia tampil sebagai sebuah kebutuhan. Merebaknya konsumerisme jelas memiliki andil yang besar terhadap hal itu. Koruptor tentu saja adalah orang-orang konsumtif, atau, bila perlu saya tulis, orang-orang yang terlampau percaya bahwa kebahagiaan akan diraih dengan mengkonsumsi, membeli, memiliki kemewahan (fisik dan non-fisik). Bagi kebanyakan pria, perempuan adalah objek kepuasan, terutama kepuasan seksual. Selain itu, wanita juga dianggap pelengkap bagi kekuasaan pria. Pendekatan yang paling banyak dilakukan adalah dengan memanfaatkan hasrat perempuan untuk tampil cantik dan mewah. Disitulah seorang koruptor hadir sebagai pintu bagi kepuasan hasratnya. Sekali saja dua sosok ini bertemu, maka korupsi pun akan menemukan jalannya.
Menurut saya sumber persoalannya bukanlah wanita, tapi pengendalian hasrat si manusia itu sendiri, entah lelaki, perempuan, maupun banci. Jadi tidak perlu lah kita membicarakan sosok-sosok wanita mainan itu, apalagi sampai mempopulerkannya. Itu sama saja dengan membiaskan persoalan sebenarnya, menjadikannya  kabur. Hingga akhirnya kita lupa pada persoalan yang sebenarnya, yaitu kejahatan moral, spiritual, sosial, politis, dan kultural.
Dalam kasus Misbah Djazuli, wanita dihadirkan dalam dua fungsi, yaitu fungsinya sebagai penyeimbang (diwakili oleh istrinya) dan fungsi sebagai pemenuhan kepuasan (diwakili oleh perempuan mainannya). Setelah bercerai, keterpurukan Misbah membawanya berpikir untuk mencari pengganti. Sayangnya proses itu tidak dilakukan dengan sadar dan dengan akal sehat, tapi merupakan upaya frustatif. Dari perempuan mainannya itu, dia hanya merasakan satu fungsi saja. Keadaan itulah yang membuatnya semakin terpuruk dalam ketersesatan.
Dari kisah Misbah Djazuli kita bisa melihat bahwa lelaki bukanlah mahluk superior yang bisa menguasai perempuan. Penyesalan dan keterpurukan Misbah jelas disebabkan oleh ketergantungannya akan kehadiran perempuan, entah sebagai penyeimbang maupun objek kepuasan. Seandainya Misbah bisa mengendalikan hasratnya, tentu saja praktik korupsi itu tidak akan dia lakukan, meskipun dia mengenalnya, atau bahkan sering melihat hal itu dilakukan rekan kerjanya. Saya rasa hal itu juga berlaku pada kita dalam kehidupan nyata. Memiliki banyak harta tentu merupakan godaan yang dahsyat. Di situlah kita diuji. Seandainya kita biasa berlatih mengendalikan hasrat, menimbang mana kebutuhan dan mana yang sekedar keinginan, tentu kita tidak akan melakukan korupsi atau tindakan pencurian lainnya.
Untuk melengkapi tulisan ini, saya ingin menyampaikan bagaimana akhirnya Misbah sadar dan memilih untuk menghadapi dan mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Setelah dia berencana membunuh istri dan calon suaminya, Misbah terbayang-bayang akan dua anaknya yang masih belia. Kepolosan dan kejujuran mereka melembutkan hari Misbah. Kelembutan itulah yang kemudian memberinya kekuatan untuk kembali menjadi kasir yang baik. Seandainya semua koruptor juga berpikir seperti Misbah, bahwa bukankah dengan korupsi, maka mereka pun menanamkan kejahatan dalam daging anak-anaknya? Semoga saja benar-benar ada Misbah Djazuli dalam kehidupan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar