Selasa, 14 Mei 2013

Brecht ala BelajarTeater

Husni MubaBrok | infoteaterbogor


Koridor Gedung Kesenian Kamuning Gading yang menjadi arena pertunjukan dua monolog kelompok BelajarTeater pada Minggu malam (03/03/13) ditata dengan minimalis saja. Area koridor ditutupi dengan kain hitam hingga membentuk ruangan, tampak sempit tapi cukup representatif. Di ujung koridor, area pertunjukan ditandai dengan lembaran koran yang menempel di dinding hingga lantai. Mengikuti kontruksi yang ada, panggung dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian belakang dan bagian depan yang lebih rendah dengan beberapa undakan tangga yang memisahkan keduanya. Di panggung bagian depan, lantainya dipenuhi dengan sobekan koran yang sengaja dibuat tidak rapi.
Lampu panggung sudah menyala sejak penonton memasuki ruang pertunjukan, lalu tanpa embel-embel pembukaan atau penanda lain bahwa pertunjukan sudah dimulai, tiba-tiba seorang pemain memasuki panggung dan memulai lakonnya. Monolog pertama itu selesai ditandai dengan pemadaman lampu, dan tanpa memberi nafas untuk penonton, monolog ke dua langsung dimulai. Acara itu kemudian diakhiri dengan diskusi sebagai ruang apresiasi bagi penonton.
Begitulah sedikit gambaran mengenai konsep artistik dan penyajian yang dipakai dalam dua monolog yang dimainkan kelompok BelajarTeater, yaitu “Ruang” karya Ferry Bhattara yang diperankan oleh Fachrie Mahayupa, dan “Aut” atau “Aeng” karya Putu Wijaya yang dimainkan oleh Ferry Bhattara. Kelompok BelajarTeater adalah sebuah kelompok teater asal Samarinda, Kalimantan Timur. Ferry Bhattara, sosok muda yang merupakan pentolan kelompok ini, sudah menggeluti dunia teater sejak lebih dari 10 tahun. Kiprahnya semakin “menggila” sejak dia bergabung dengan Teater Yupa, Universitas Mulawarman, Samarinda. Di kalangan teater kampus, nama Ferry Bhattara cukup dikenal karena intelektualitas dan kualitasnya. Ferry, bersama Teater Yupa khususnya, sering memenangkan beragam festival teater. Kelompok BelajarTeater bisa dikatakan media lanjutan bagi Ferry dkk setelah lepas dari dunia kampus.
Sedikit mengangkat naskah yang dimainkan, “Ruang” karya Ferry Bhattara bercerita tentang seorang mahasiswa yang termakan oleh daya kritisnya sendiri. Dia digambarkan sebagai seorang penggiat kesenian di kampus yang kemudian sering memberikan kritik di media cetak. Berawal dari kritiknya terhadap pola pendidikan yang membuat dia dikeluarkan dari kampus, hingga akhirnya dia mempersembahkan hidupnya untuk terus mengkritisi beragam kebijakan politis. Namun pada akhirnya, ternyata semua gerakannya itu ditunggangi oleh kepentingan seseorang. Sedangkan naskah “Aeng” karya Putu Wijaya bercerita tentang seorang narapidana yang menceritakan kisah hidupnya pada hari-hari terakhir sebelum dia dihukum mati. Ada banyak pesan yang bisa diambil dari kedua naskah tersebut, mulai dari buruknya sistem pendidikan, jerat media komunikasi yang penuh jebakan, ketidak-adilan hukum, hingga tentang semakin kaburnya kejahatan dan kebenaran.
Yang menarik kemudian dari konsep pertunjukan yang dibawa BelajarTeater ini adalah, jika sebelumnya kita berpijak pada pernyataan bahwa sebuah pertunjukan lakon harus bisa membawa penonton masuk  dalam ruang rasa yang dihadirkan, atau dengan kata lain, menimbulkan empati penonton, maka BelajarTeater justru melakukan hal yang sebaliknya. Dalam dua monolognya, mereka menyuguhkan pertunjukan yang sengaja memutuskan hubungan (mengalienasi) perasaan penonton dan pertunjukannya dengan melakukan hal yang berada di luar alur cerita. Dalam salah satu adegan pada monolog pertama misalnya, tiba-tiba pemain mengeluh atas kesalahan yang dilakukan pemain musik. Dia merasa kesalahan itu mengganggu konsentrasinya dan meminta adegan tersebut diulangi. Lalu dalam adegan lain, giliran sang sutradara yang tiba-tiba meminta pemain mengulang adegan karena dia melakukan kesalahan. Dalam monolog yang ke dua, usaha alienasi itu dilakukan dengan cara berbeda. Seperti halnya konsep pertunjukan teater arena, pemain tiba-tiba keluar dari batas panggung dan masuk wilayah penonton, menarik salah satu penonton untuk masuk dalam permainannya. Dalam kesempatan lain dia juga sempat keluar dari alur cerita dan berdiskusi dengan sutradara perihal naskah yang dimainkan.
Contoh-contoh di atas tentunya merupakan hal yang “diharamkan” jika mengacu pada pijakan-pijakan teater atau konsep pertunjukan dan keaktoran ala Constantin Stanislavsky dengan realismenya yang dianggap sebagai pijakan metode keaktoran. Dalam drama realis ala Slavski-an, sebuah pertunjukan semestinya menjaga hubungan perasaan penontonnya. Pertunjukan dianggap berhasil jika dia bisa membawa penonton untuk ikut tercebur dalam cerita yang disajikan, sehingga menimbulkan kesan bahwa yang disaksikannya itu adalah sebuah kejadian yang benar terjadi, bukan lakon di atas panggung. Tujuannya adalah katarsis (pembersihan jiwa), sebuah gagasan yang muncul sejak era Aristoteles dengan konsep teater tragedinya. Katarsis bisa dicapai jika muncul empati pada diri penonton, oleh karena itu, cerita dan konsep pertunjukan pun dibuat semirip mungkin dengan kenyataan sehingga memudahkan penonton untuk terlibat secara emosional dengan lakon yang disajikan.
Tapi “pelanggaran” itu rupanya memang sengaja dilakukan dengan tujuannya sendiri. Dua monolog BelajarTeater itu menggunakan konsep Bertolt Brecht yang mengusung teater epik sebagai anti-tesis dari teater dramatik. Dalam konsep pertunjukan dramatik, sasarannya adalah perasaan penonton. Namun dalam pertunjukan epik, sasarannya ialah pemikiran penonton secara langsung. Menurut Ferry Bhattara, pertunjukan mereka justru tidak ingin mengajak perasaan penonton. Usaha alienasi itu sengaja dilakukan untuk menyadarkan penonton bahwa yang mereka lihat hanyalah sebuah pertunjukan. Hal demikian dimaksudkan agar pemikiran kritis penonton tetap terjaga dan mereka bisa mengkaji pertunjukan yang berlangsung dan membandingkannya dengan realitas sosial.
V-effect (VerfremdungsefTekt), begitulah usaha alienasi itu dinamakan(dalam bahasa Indonesia, “alienasi” memiliki pengertian yang beragam, yang pengertian tersebut bisa terpisah-pisah tapi juga bisa sepadan sama sekali. Alienasi dalam bahasa Indonesia berarti kondisi terasing/diasingkan, terlepas, terpisah, terputus, tercerabut). V-effect bertujuan menjaga jarak (non-fisik) antara penonton dan pertunjukan. Penonton tidak boleh larut dalam cerita, tapi tetap kritis mengkaji wacana atau isu yang disampaikan. Brehct memang beranggapan bahwa teater adalah alat perlawanan dan/atau pembebasan. Menurutnya tujuan utama pertunjukan teater bukanlah menumbuhkan katarsis, tapi menyadarkan orang-orang yang terlibat di dalamnya (para pemeran dan penonton) tentang kondisi sosial masyarakat yang dapat dan senantiasa berubah. Brecht memang sangat terilhami oleh pemikiran Karl Marx tentang perjuangan kelas. Dia menganggap bahwa situasi dan kondisi sosial tidaklah terjadi dengan begitu saja, tapi merupakan sebuah kontruksi buatan manusia (kelompok penguasa) yang, jika manusia menghendaki, bisa dirubah.
Selain konsep Brecht-an itu, hal lain yang menarik ialah bagaimana mereka meramu ruang pertunjukannya. Meskipun dengan tata cahaya dan tata lampu yang minimalis, tapi penggunaannya relatif cukup bisa menunjang pertunjukan itu. Respon (saya mengartikannya sebagai kemampuan dalam menyikapi) adalah faktor yang sangat menonjol dalam bagaimana Ferry dkk menggarap ruang pertunjukannya. Jika pertunjukan teater pada umumnya membutuhkan ruang khusus dengan segala kebutuhan artistik dan lain sebagainya, maka konsep BelajarTeater ini lebih berusaha merespon ruang yang ada; sebuah metode ala Jerzy Grotowski yang disebut dengan teater miskin (poor theater), yang muncul setelah dia jengah dengan pertunjukan teater yang cenderung mahal dan membutuhkan ruang dan peralatan yang serba khusus, sehingga memaksa setiap pelaku seni pertunjukan harus berpikir keras mengatasi persoalan ongkos produksi. Selain dianggap melumpuhkan kreativitas, Growtoski juga menganggap hal itu justru menjauhkan teater dari masyarakat. Menurut Growtoski, kemegahan-kemegahan artistik yang berlebihan itu menyebabkan penyatuan antara aktor dan penonton dalam sebuah peristiwa teater, yang diyakininya sebagai jantung teater, tidak terjadi secara alami. Dalam sejarah teater modern di Indonesia, pemikiran Growtoski ini memberikan pengaruh yang besar dan diadopsi oleh beberapa pelaku teater ternama seperti W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan lain-lain.
Tapi di sisi lain, hingga saat ini saya masih bertanya-tanya, bagaimana saya harus menyikapi pertunjukan itu? Saya tak meragukan kualitas keaktoran dalam dua monolog yang disajikan, tapi di sisi lain, saya malah tidak bisa menikmatinya sebagai sebuah pertunjukan. Atau memang itulah yang menjadi tujuan pertunjukan ala Brecht-an ini?
Banyak bahasan mengenai konsep Brehct yang sering kali dibandingkan dengan konsep teater rakyat, bahkan banyak juga yang menganggapnya sangat berkaitan dan memiliki metode yang sama. Secara historis, Brehct memang dipengaruhi oleh teater rakyat masyarakat Timur, tepatnya setelah dia menyaksikan Opera Cina -dimana pemain hadir dengan alami, tanpa make-up atau kostum khusus, dan jarak pertunjukan dan penonton pun relatif imajinatif-  yang kemudian dia kembangkan sesuai pemikiran Barat-nya. Brehct beranggapan bahwa model pertunjukan seperti itulah yang paling tepat dalam mencapai sasarannya, yaitu untuk mengajak masyarakat mengkaji gejala-gejala sosial yang terjadi dalam kesehariannya. Adapun konsep alienasi (V-effect) yang dimaksudkan, sejauh yang saya ketahui, ialah dengan menghadirkan hal-hal yang tidak wajar dan aneh sama sekali, mulai dari karakter, kejadian atau adegan, artistik, dan lain sebagainya.
Bentuk alienasi yang digunakan BelajarTeater ini mungkin berusaha memadukan konsep Brecht dan teater rakyat atau teater tradisional, karena seperti kita tahu, bentuk teater tradisional memang selalu berbaur dengan penontonnya. Masuknya kenyataan (misalnya penonton masuk ke dalam cerita) adalah hal yang wajar terjadi dalam pertunjukan teater tradisi, yang umumnya bertujuan membuat humor. Sayangnya, dalam monolog BelajarTeater, bentuk itu terasa canggung sekaligus sedikit berlebihan. Jika mengacu pada tujuan mengalienasi penonton dari pertunjukan, saya bisa katakan bahwa tujuan itu berhasil. Tapi jika kembali pada persoalan bahwa tujuan utamanya adalah untuk mejaga daya kritis penonton terhadap wacana yang disampaikan, saya sedikit meragukan hal itu.
Menurut saya, pertunjukan tetaplah pertunjukan. Pemahaman terhadap wacana dalam sebuah pertunjukan akan tercapai ketika wacana itu disampaikan dan tertangkap dengan baik. Dalam hal ini, kekuatan teks (naskah) dan aplikasinya adalah hal yang penting. Dengan bentuk alienasi yang dilakukan BelajarTeater, penonton tidak saja menjadi teralienasi dari pertunjukan namun juga dari wacana. Dalam sessi diskusi yang berlangsung pun, isu yang pertama terangkat adalah seputar konsep pertunjukan, bukan wacana yang dibawa pertunjukan. Dengan demikian, bukankah tujuan “menjaga daya kritis penonton terhadap gejala sosial yang terjadi di tengah masyarakat” itu terdengar ironis? Memang, sejauh yang saya ikuti, konsep yang disuguhkan BelajarTeater adalah hal yang baru terjadi di Bogor, yang harus diakui, belum memiliki banyak referensi meskipun secara georafis, kedekatan Bogor dan Jakarta semestinya bisa menjadi satu nilai lebih. Atau mungkin karena kebanyakan penonton yang hadir saat itu adalah para pelaku seni pertunjukan hingga yang dibicarakan kemudian pun adalah persoalan interal mereka?
Sebelum dua monolog yang dipentaskan di Koridor Gk. Kamuning Gading, saya juga sempat menyaksikan pertunjukan Teater Yupa yang disutradarai Ferry Bhattara. Di tengah pertunjukan, sang sutradara tiba-tiba bicara dari area penonton mengenai hal yang sama sekali di luar alur cerita. Hal itu dia lakukan dengan tujuan yang sama, namun rupanya bukan hanya saya yang malah terganggu dengan bentuk alienasi itu.

Di sisi lain, saya setuju dengan pendapat bahwa V-effect itu belum tentu bisa berhasil di terapkan di Indonesia, mengingat Barat dan Timur memiliki budaya yang berbeda, yang berbeda pula dalam melihat realitas dan idealitas. Barat memandang realitas secara dualistis yang memisahkan dunia nyata dan dunia reka, dimana dunia nyata dianggap lebih superior. Berbeda dengan masyarakat Timur yang melihat dua dunia itu sebagai sesuatu yang saling berhubungan. Dalam tulisan “Teori Teater Brecht” oleh Ipit S. Dimyati, dia menulis “Teater realisme di Barat yang berupaya menghadirkan ilusi di atas panggung, lalu kemudian menghipnotis penontonnya untuk percaya bahwa yang ditontonnya tersebut ‘nyata’, merupakan salah satu konsekuensi dari sikap dan pandangan hidup yang memandang realitas secara dualistis. Karena dunia nyata lebih superior, maka hal-hal yang tidak masuk akal, naif atau kekanak-kanakkan, perlu disingkarkan dari atas pentas.” Namun tentu saja metode Brecth ini bukan berarti tidak bisa digunakan. Buktinya, banyak sutradara teater yang mengadopsi metode itu dan menggabungkannya dengan konsep teater tradisi serta unsur subjektivitas si penggarap.

Tapi bagaimanapun, BelajarTeater telah memberikan tawaran yang sangat menarik, baik dari segi  wacana maupun konsep pertunjukannya. Dan segala yang mereka lakukan di koridor Kamuning Gading itu bukanlah improviasi. Proses monolog “Aeng” bahkan telah dijalani selama hampir dua tahun. Jadi wajar jika dalam sessi diskusi yang dilaksanakan paska pertunjukan, Ferry dkk menunjukan bahwa mereka tidak hanya pandai dalam memvisualisasikan ide, namun juga memiliki intelektualitas yang baik dalam pemahaman teori, meskipun dia tidak memiliki latar belakang akademis dalam urusan seni pertunjukan. Begitu pun tentang wacana yang diangkat dalam pertunjukannya, sebuah persoalan sosial yang dekat dan akrab dengan masyarakat kita saat ini, Ferry dkk memiliki pandangan yang tajam terhadap persoalan-persoalan itu.
Hal lain yang paling berkesan bagi saya ialah bagaimana mereka mengaplikasikan teori  teater miskin ala Grotowski itu; bahwa sekali waktu, pertunjukan teater tidak selalu harus dilakukan dengan konsep artistik yang megah, tidak harus selalu meng-eksklusif-kan diri dengan melakukan pertunjukan di gedung pertunjukan yang representatif, yang akhirnya malah membatasi teater dan masyarakat sebagai sasarannya. Bukan berarti kita harus membuang  impian untuk bisa membuat sebuah pertunjukan yang mewah dan artistik, dan bukan berarti bahwa kita harus terjebak dalam impian itu selamanya. Upaya adaptasi dan penyesuaian diri terhadap kemampuan (baik materi, pola pikir, maupun intelektualitas) masyarakat perlu dipertimbangkan, karena bagi mereka lah teater itu ada.

Referensi:
Dimyati, Ipit S. Teori Teater Brechthttp://aksarabhumi.blogspot.com/p/teater.html
Espe, Cucuk. “Teater Miskin” Lampung Post, Sabtu, 6 Agustus 2011
“Dramaturgi” (kumpulan materi perkuliahan Jurusan Teater Fakultas Seni Drama, Tari dan Musik Universitas Negri Surabaya) ditulis oleh Autar Abdillah, Dosen Teater Sendratasik, UNESA.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar