Koridor Gedung Kesenian Kamuning Gading yang menjadi arena pertunjukan
dua monolog kelompok BelajarTeater pada Minggu malam (03/03/13) ditata dengan
minimalis saja. Area koridor ditutupi dengan kain hitam hingga membentuk
ruangan, tampak sempit tapi cukup representatif. Di ujung koridor, area
pertunjukan ditandai dengan lembaran koran yang menempel di dinding hingga
lantai. Mengikuti kontruksi yang ada, panggung dibagi menjadi dua bagian, yaitu
bagian belakang dan bagian depan yang lebih rendah dengan beberapa undakan
tangga yang memisahkan keduanya. Di panggung bagian depan, lantainya dipenuhi
dengan sobekan koran yang sengaja dibuat tidak rapi.
Lampu panggung sudah menyala sejak penonton memasuki ruang pertunjukan,
lalu tanpa embel-embel pembukaan atau penanda lain bahwa pertunjukan sudah
dimulai, tiba-tiba seorang pemain memasuki panggung dan memulai lakonnya.
Monolog pertama itu selesai ditandai dengan pemadaman lampu, dan tanpa memberi
nafas untuk penonton, monolog ke dua langsung dimulai. Acara itu kemudian
diakhiri dengan diskusi sebagai ruang apresiasi bagi penonton.
Begitulah sedikit gambaran mengenai konsep artistik dan penyajian yang
dipakai dalam dua monolog yang dimainkan kelompok BelajarTeater, yaitu “Ruang”
karya Ferry Bhattara yang diperankan oleh Fachrie Mahayupa, dan “Aut” atau
“Aeng” karya Putu Wijaya yang dimainkan oleh Ferry Bhattara. Kelompok
BelajarTeater adalah sebuah kelompok teater asal Samarinda, Kalimantan Timur.
Ferry Bhattara, sosok muda yang merupakan pentolan kelompok ini, sudah
menggeluti dunia teater sejak lebih dari 10 tahun. Kiprahnya semakin “menggila”
sejak dia bergabung dengan Teater Yupa, Universitas Mulawarman, Samarinda. Di
kalangan teater kampus, nama Ferry Bhattara cukup dikenal karena
intelektualitas dan kualitasnya. Ferry, bersama Teater Yupa khususnya, sering
memenangkan beragam festival teater. Kelompok BelajarTeater bisa dikatakan
media lanjutan bagi Ferry dkk setelah lepas dari dunia kampus.
Sedikit mengangkat naskah yang dimainkan, “Ruang” karya Ferry Bhattara bercerita
tentang seorang mahasiswa yang termakan oleh daya kritisnya sendiri. Dia
digambarkan sebagai seorang penggiat kesenian di kampus yang kemudian sering
memberikan kritik di media cetak. Berawal dari kritiknya terhadap pola
pendidikan yang membuat dia dikeluarkan dari kampus, hingga akhirnya dia
mempersembahkan hidupnya untuk terus mengkritisi beragam kebijakan politis.
Namun pada akhirnya, ternyata semua gerakannya itu ditunggangi oleh kepentingan
seseorang. Sedangkan naskah “Aeng” karya Putu Wijaya bercerita tentang seorang
narapidana yang menceritakan kisah hidupnya pada hari-hari terakhir sebelum dia
dihukum mati. Ada banyak pesan yang bisa diambil dari kedua naskah tersebut,
mulai dari buruknya sistem pendidikan, jerat media komunikasi yang penuh
jebakan, ketidak-adilan hukum, hingga tentang semakin kaburnya kejahatan dan
kebenaran.
Yang menarik kemudian dari konsep pertunjukan yang dibawa BelajarTeater
ini adalah, jika sebelumnya kita berpijak pada pernyataan bahwa sebuah
pertunjukan lakon harus bisa membawa penonton masuk dalam ruang rasa yang dihadirkan, atau dengan
kata lain, menimbulkan empati penonton, maka BelajarTeater justru melakukan hal
yang sebaliknya. Dalam dua monolognya, mereka menyuguhkan pertunjukan yang
sengaja memutuskan hubungan (mengalienasi) perasaan penonton dan pertunjukannya
dengan melakukan hal yang berada di luar alur cerita. Dalam salah satu adegan
pada monolog pertama misalnya, tiba-tiba pemain mengeluh atas kesalahan yang
dilakukan pemain musik. Dia merasa kesalahan itu mengganggu konsentrasinya dan
meminta adegan tersebut diulangi. Lalu dalam adegan lain, giliran sang
sutradara yang tiba-tiba meminta pemain mengulang adegan karena dia melakukan
kesalahan. Dalam monolog yang ke dua, usaha alienasi itu dilakukan dengan cara
berbeda. Seperti halnya konsep pertunjukan teater arena, pemain tiba-tiba
keluar dari batas panggung dan masuk wilayah penonton, menarik salah satu
penonton untuk masuk dalam permainannya. Dalam kesempatan lain dia juga sempat keluar
dari alur cerita dan berdiskusi dengan sutradara perihal naskah yang dimainkan.
Contoh-contoh di atas tentunya merupakan hal yang “diharamkan” jika
mengacu pada pijakan-pijakan teater atau konsep pertunjukan dan keaktoran ala Constantin
Stanislavsky dengan realismenya yang dianggap sebagai pijakan metode keaktoran.
Dalam drama realis ala Slavski-an, sebuah pertunjukan semestinya menjaga
hubungan perasaan penontonnya. Pertunjukan dianggap berhasil jika dia bisa
membawa penonton untuk ikut tercebur dalam cerita yang disajikan, sehingga
menimbulkan kesan bahwa yang disaksikannya itu adalah sebuah kejadian yang
benar terjadi, bukan lakon di atas panggung. Tujuannya adalah katarsis (pembersihan
jiwa), sebuah gagasan yang muncul sejak era Aristoteles dengan konsep teater
tragedinya. Katarsis bisa dicapai jika muncul empati pada diri penonton, oleh
karena itu, cerita dan konsep pertunjukan pun dibuat semirip mungkin dengan
kenyataan sehingga memudahkan penonton untuk terlibat secara emosional dengan
lakon yang disajikan.
Tapi “pelanggaran” itu rupanya memang sengaja dilakukan dengan tujuannya
sendiri. Dua monolog BelajarTeater itu menggunakan konsep Bertolt Brecht yang
mengusung teater epik sebagai anti-tesis dari teater dramatik. Dalam konsep
pertunjukan dramatik, sasarannya adalah perasaan penonton. Namun dalam
pertunjukan epik, sasarannya ialah pemikiran penonton secara langsung. Menurut
Ferry Bhattara, pertunjukan mereka justru tidak ingin mengajak perasaan
penonton. Usaha alienasi itu sengaja dilakukan untuk menyadarkan penonton bahwa
yang mereka lihat hanyalah sebuah pertunjukan. Hal demikian dimaksudkan agar
pemikiran kritis penonton tetap terjaga dan mereka bisa mengkaji pertunjukan
yang berlangsung dan membandingkannya dengan realitas sosial.
V-effect (VerfremdungsefTekt), begitulah usaha alienasi itu dinamakan(dalam
bahasa Indonesia, “alienasi” memiliki pengertian yang beragam, yang pengertian
tersebut bisa terpisah-pisah tapi juga bisa sepadan sama sekali. Alienasi dalam
bahasa Indonesia berarti kondisi terasing/diasingkan, terlepas, terpisah, terputus,
tercerabut). V-effect bertujuan
menjaga jarak (non-fisik) antara penonton dan pertunjukan. Penonton tidak boleh
larut dalam cerita, tapi tetap kritis mengkaji wacana atau isu yang disampaikan.
Brehct memang beranggapan bahwa teater adalah alat perlawanan dan/atau
pembebasan. Menurutnya
tujuan utama pertunjukan teater bukanlah menumbuhkan katarsis, tapi menyadarkan
orang-orang yang terlibat di dalamnya (para pemeran dan penonton) tentang
kondisi sosial masyarakat yang dapat dan senantiasa berubah. Brecht
memang sangat terilhami oleh pemikiran Karl Marx tentang perjuangan kelas. Dia
menganggap bahwa situasi dan kondisi sosial tidaklah terjadi dengan begitu
saja, tapi merupakan sebuah kontruksi buatan manusia (kelompok penguasa) yang,
jika manusia menghendaki, bisa dirubah.
Selain konsep Brecht-an itu, hal lain yang menarik ialah bagaimana
mereka meramu ruang pertunjukannya. Meskipun dengan tata cahaya dan tata lampu
yang minimalis, tapi penggunaannya relatif cukup bisa menunjang pertunjukan
itu. Respon (saya mengartikannya sebagai kemampuan dalam menyikapi) adalah
faktor yang sangat menonjol dalam bagaimana Ferry dkk menggarap ruang
pertunjukannya. Jika pertunjukan teater pada umumnya membutuhkan ruang khusus dengan
segala kebutuhan artistik dan lain sebagainya, maka konsep BelajarTeater ini
lebih berusaha merespon ruang yang ada; sebuah metode ala Jerzy Grotowski yang
disebut dengan teater miskin (poor theater), yang muncul setelah dia jengah
dengan pertunjukan teater yang cenderung mahal dan membutuhkan ruang dan
peralatan yang serba khusus, sehingga memaksa setiap pelaku seni pertunjukan
harus berpikir keras mengatasi persoalan ongkos produksi. Selain dianggap
melumpuhkan kreativitas, Growtoski juga menganggap hal itu justru menjauhkan
teater dari masyarakat. Menurut Growtoski, kemegahan-kemegahan artistik yang
berlebihan itu menyebabkan penyatuan antara aktor dan penonton dalam sebuah peristiwa teater, yang diyakininya
sebagai jantung teater, tidak terjadi secara alami. Dalam
sejarah teater modern di Indonesia, pemikiran Growtoski ini memberikan pengaruh
yang besar dan diadopsi oleh beberapa pelaku teater ternama seperti W.S.
Rendra, Putu Wijaya, dan lain-lain.
Tapi di sisi lain, hingga saat ini saya masih bertanya-tanya, bagaimana
saya harus menyikapi pertunjukan itu? Saya tak meragukan kualitas keaktoran dalam
dua monolog yang disajikan, tapi di sisi lain, saya malah tidak bisa
menikmatinya sebagai sebuah pertunjukan. Atau memang itulah yang menjadi tujuan
pertunjukan ala Brecht-an ini?
Banyak bahasan mengenai konsep Brehct yang sering kali dibandingkan
dengan konsep teater rakyat, bahkan banyak juga yang menganggapnya sangat
berkaitan dan memiliki metode yang sama. Secara historis, Brehct memang dipengaruhi
oleh teater rakyat masyarakat Timur, tepatnya setelah dia menyaksikan Opera
Cina -dimana pemain hadir dengan alami, tanpa make-up atau kostum khusus, dan jarak
pertunjukan dan penonton pun relatif imajinatif- yang kemudian dia kembangkan sesuai pemikiran
Barat-nya. Brehct beranggapan bahwa model pertunjukan seperti itulah yang
paling tepat dalam mencapai sasarannya, yaitu untuk mengajak masyarakat
mengkaji gejala-gejala sosial yang terjadi dalam kesehariannya. Adapun konsep
alienasi (V-effect) yang dimaksudkan, sejauh yang saya ketahui, ialah dengan
menghadirkan hal-hal yang tidak wajar dan aneh sama sekali, mulai dari
karakter, kejadian atau adegan, artistik, dan lain sebagainya.
Bentuk alienasi yang digunakan BelajarTeater ini mungkin berusaha
memadukan konsep Brecht dan teater rakyat atau teater tradisional, karena
seperti kita tahu, bentuk teater tradisional memang selalu berbaur dengan
penontonnya. Masuknya kenyataan (misalnya penonton masuk ke dalam cerita)
adalah hal yang wajar terjadi dalam pertunjukan teater tradisi, yang umumnya
bertujuan membuat humor. Sayangnya, dalam monolog BelajarTeater, bentuk itu
terasa canggung sekaligus sedikit berlebihan. Jika mengacu pada tujuan
mengalienasi penonton dari pertunjukan, saya bisa katakan bahwa tujuan itu
berhasil. Tapi jika kembali pada persoalan bahwa tujuan utamanya adalah untuk
mejaga daya kritis penonton terhadap wacana yang disampaikan, saya sedikit
meragukan hal itu.
Menurut saya, pertunjukan tetaplah pertunjukan. Pemahaman terhadap
wacana dalam sebuah pertunjukan akan tercapai ketika wacana itu disampaikan dan
tertangkap dengan baik. Dalam hal ini, kekuatan teks (naskah) dan aplikasinya
adalah hal yang penting. Dengan bentuk alienasi yang dilakukan BelajarTeater, penonton
tidak saja menjadi teralienasi dari pertunjukan namun juga dari wacana. Dalam
sessi diskusi yang berlangsung pun, isu yang pertama terangkat adalah seputar
konsep pertunjukan, bukan wacana yang dibawa pertunjukan. Dengan demikian,
bukankah tujuan “menjaga daya kritis penonton terhadap gejala sosial yang
terjadi di tengah masyarakat” itu terdengar ironis? Memang, sejauh yang saya
ikuti, konsep yang disuguhkan BelajarTeater adalah hal yang baru terjadi di
Bogor, yang harus diakui, belum memiliki banyak referensi meskipun secara
georafis, kedekatan Bogor dan Jakarta semestinya bisa menjadi satu nilai lebih.
Atau mungkin karena kebanyakan penonton yang hadir saat itu adalah para pelaku
seni pertunjukan hingga yang dibicarakan kemudian pun adalah persoalan interal
mereka?
Sebelum dua monolog yang dipentaskan di Koridor Gk. Kamuning Gading,
saya juga sempat menyaksikan pertunjukan Teater Yupa yang disutradarai Ferry
Bhattara. Di tengah pertunjukan, sang sutradara tiba-tiba bicara dari area penonton
mengenai hal yang sama sekali di luar alur cerita. Hal itu dia lakukan dengan
tujuan yang sama, namun rupanya bukan hanya saya yang malah terganggu dengan
bentuk alienasi itu.
Di sisi lain, saya setuju dengan pendapat bahwa V-effect itu belum tentu bisa berhasil di terapkan di Indonesia, mengingat
Barat dan Timur memiliki budaya yang berbeda, yang berbeda pula dalam melihat
realitas dan idealitas. Barat memandang realitas secara dualistis yang
memisahkan dunia nyata dan dunia reka, dimana dunia nyata dianggap lebih
superior. Berbeda dengan masyarakat Timur yang melihat dua dunia itu sebagai
sesuatu yang saling berhubungan. Dalam tulisan “Teori Teater Brecht” oleh Ipit
S. Dimyati, dia menulis “Teater realisme di Barat yang berupaya menghadirkan ilusi di
atas panggung, lalu kemudian menghipnotis penontonnya untuk percaya bahwa yang
ditontonnya tersebut ‘nyata’, merupakan salah satu konsekuensi dari sikap dan
pandangan hidup yang memandang realitas secara dualistis. Karena dunia nyata
lebih superior, maka hal-hal yang tidak masuk akal, naif atau kekanak-kanakkan,
perlu disingkarkan dari atas pentas.” Namun tentu saja metode Brecth ini
bukan berarti tidak bisa digunakan. Buktinya, banyak sutradara teater yang
mengadopsi metode itu dan menggabungkannya dengan konsep teater tradisi serta
unsur subjektivitas si penggarap.
Tapi bagaimanapun, BelajarTeater telah memberikan tawaran yang sangat
menarik, baik dari segi wacana maupun konsep
pertunjukannya. Dan segala yang mereka lakukan di koridor Kamuning Gading itu
bukanlah improviasi. Proses monolog “Aeng” bahkan telah dijalani selama hampir
dua tahun. Jadi wajar jika dalam sessi diskusi yang dilaksanakan paska
pertunjukan, Ferry dkk menunjukan bahwa mereka tidak hanya pandai dalam
memvisualisasikan ide, namun juga memiliki intelektualitas yang baik dalam
pemahaman teori, meskipun dia tidak memiliki latar belakang akademis dalam
urusan seni pertunjukan. Begitu pun tentang wacana yang diangkat dalam
pertunjukannya, sebuah persoalan sosial yang dekat dan akrab dengan masyarakat
kita saat ini, Ferry dkk memiliki pandangan yang tajam terhadap
persoalan-persoalan itu.
Hal lain yang paling berkesan bagi saya ialah bagaimana mereka
mengaplikasikan teori teater miskin ala
Grotowski itu; bahwa sekali waktu, pertunjukan teater tidak selalu harus
dilakukan dengan konsep artistik yang megah, tidak harus selalu
meng-eksklusif-kan diri dengan melakukan pertunjukan di gedung pertunjukan yang
representatif, yang akhirnya malah membatasi teater dan masyarakat sebagai
sasarannya. Bukan berarti kita harus membuang
impian untuk bisa membuat sebuah pertunjukan yang mewah dan artistik,
dan bukan berarti bahwa kita harus terjebak dalam impian itu selamanya. Upaya
adaptasi dan penyesuaian diri terhadap kemampuan (baik materi, pola pikir,
maupun intelektualitas) masyarakat perlu dipertimbangkan, karena bagi mereka
lah teater itu ada.
Referensi:
Espe, Cucuk. “Teater Miskin” Lampung Post, Sabtu, 6 Agustus 2011
Othinx. “Teater realis: Yang Real Vs.
Yang Ideal” http://sejarah.kompasiana.com/2012/06/25/teater-realis-yang-real-vs-yang-ideal-472344.html
“Dramaturgi” (kumpulan materi perkuliahan Jurusan
Teater Fakultas Seni Drama, Tari dan Musik Universitas Negri Surabaya) ditulis
oleh Autar Abdillah, Dosen Teater Sendratasik, UNESA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar