Selasa, 14 Mei 2013

Potret Manusia Modern dalam “Solilokui Naninu” – Teater KaliYuga

Nana Gemblong | infoteaterbogor

Sabtu, 04 Mei 2013, pukul 14.00 WIB dan Minggu, 05 Mei 2013 pukul 20.00 WIB, Teater KaliYuga dibawah pimpinan Bram Gerung menggelar sebuah pertunjukan drama satu babak berjudul “Solilokui Naninu”. Drama berdurasi sekitar satu jam setengah tersebut merupakan potret manusia kebanyakan yang hidup di tengah-tengah kita pada saat ini. Melalui tokoh Naninu, sosok robot yang amat sempurna seperti manusia, Bram Gerung melakukan banyak sindiran terhadap kita sebagai manusia. Kita seperti diajak bercermin, melihat lebih dalam tentang hakikat keberadaan kita sebagai manusia.
Naninu, sosok robot yang berupa perempuan cantik berusia sekitar 50 tahun, adalah seorang ilmuan yang berprestasi. Ia bekerja di sebuah proyek pemerintah dan menjadi kepala bagian riset dan perkembangan teknologi modern. Berkat kejeniusannya tersebut, ia sampai mau dicalonkan sebagai presiden. Namun, Prof. Atmo Garing (ayahnya) melihat hal tersebut merupakan kondisi yang negatif. Sampai akhirnya, Atmo Garing harus mengasingkan mahakaryanya tersebut dari dunia luar dan mengurungnya dalam sebuah ruangan bawah tanah. Dalam kesendiriannya, Naninu mempertanyakan alasan-alasan kenapa Atmo Garing menyekapnya diruangan tersebut dan melarangnya mencalonkan diri sebagai presiden. Terlebih, selain itu, dia juga dilarang menikah, dsb.
Lewat dialog-dialog panjang, Naninu menceritakan masa lalunya sebelum dia terkurung di ruangan berdebu tersebut. Dari dialog-dialog panjang itu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Naninu adalah seorang perempuan yang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pernyataannya yang menyebutkan bahwa dirinya tidak perduli pada apapun selain pada disiplin ilmu yang ditekuninya. Selain itu, ia tidak merasa sedih, sakit hati atau kecewa karena dikurung oleh ayahnya di ruangan tersebut. Sungguh sesuatu yang paradoks. Ketika seharusnya seorang perempuan lebih menggunakan perasaannya, Naninu malah kebalikannya.
Ketidak-perdulian yang digambarkan lewat tokoh Naninu ini merupakan potret dari sebagian besar masyarakat kita. Selain itu, mungkin banyak juga masyarakat atau bahkan kita sekalipun kadang tidak mempergunakan perasaan kita dalam berbicara, berprilaku, bertindak atau apapun itu sejenisnya. Kondisi tersebut merupakan ciri-ciri masyarakat yang tidak waras/sakit. “Solilokui Naninu” karya Bram Gerung ini sangat jelas menyinggung persoalan perilaku manusia di era sekarang ini. Manusia tidak lagi perduli pada yang lain selain pada dirinya sendiri, tidak lagi perduli soal perasaan.
Naninu terus mempertanyakan kenapa dirinya dikurung, sampai akhirnya dia mulai curiga pada Atmo Garing (ayahnya) dan pada dirinya sendiri. Ia mulai berpikir bahwa Ayahnya sedang menyembunyikannya karena dia adalah masa lalu yang kelam bagi ayahnya. Naninu pun berontak, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Naninu mengambil benda tajam yang ada di ruangan tersebut lalu menusukkannya ke perutnya. Naninu terkejut saat ia harus menyaksikan bahwa yang keluar dari perutnya bukanlah darah tapi serangkaian kabel berbungkus silikon. Sampai-sampai pada saat itu pun ia meneteskan air mata.
Mendengar teriakan Naninu memanggil-manggil Atmo Garing, akhirnya Atmo Garing memasuki ruangan tersebut. Namun, Atmo Garing tidak hendak mendekati Naninu untuk memperbaikinya, melainkan ia hanya berbicara menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Lewat dialog yang singkat, Atmo Garing menjelaskan bahwa Naninu adalah mahakaryanya yang amat sempurna, sampai ia kadang lupa kalau Naninu itu hanyalah robot. Atmo Garing pun menjelaskan bahwa ia sebenarnya ingin memusnahkan Naninu begitu ia tahu Naninu dicalonkan sebagai Presiden. Kekhawatirannya adalah bagaimana bisa sebuah Negara dipimpin oleh robot yang tidak bisa perduli pada banyak hal dan tidak bisa menggunakan perasaan sebagai salah satu pijakan dalam bertindak.
Dari dua adegan tersebut, Bram Gerung lewat Dramanya “Solilokui Naninu”, semakin mempertegas pandangannya tentang kondisi manusia-manusia pada saat ini. Dari dua adegan tersebut, kita juga dapat membayangkan bagaimana jadinya jika sebuah Negara, atau lebih kecilnya sebuah kota mungkin, dipimpin oleh manusia yang sama sekali tidak punya keperdulian terhadap apapun, selain dirinya, selain itu, ia tidak melibatkan perasaannya dalam setiap ucapan dan tindakannya. Bagaimana bisa masyarakat dipimpin oleh manusia semacam itu?  
Terkadang kita perlu ruang tersendiri untuk memahami keberadaan kita sebagai manusia. Dalam kesendirian, manusia cenderung akan lebih memahami hakikat dirinya dan hakikat hidupnya. Manusia dalam hidupnya harus mampu mengatur dirinya agar tetap seimbang dalam menggunakan pikiran dan perasaannya. Karena manusia yang lebih dominan mempergunakan pikirannya tanpa melibatkan perasaannya dalam setiap tindakannya, bagaikan robot berwujud manusia.
Maju terus kesenian di Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar