Sabtu, 04 Mei 2013, pukul 14.00 WIB dan Minggu, 05 Mei
2013 pukul 20.00 WIB, Teater KaliYuga dibawah pimpinan Bram Gerung menggelar
sebuah pertunjukan drama satu babak berjudul “Solilokui Naninu”. Drama
berdurasi sekitar satu jam setengah tersebut merupakan potret manusia
kebanyakan yang hidup di tengah-tengah kita pada saat ini. Melalui tokoh
Naninu, sosok robot yang amat sempurna seperti manusia, Bram Gerung melakukan
banyak sindiran terhadap kita sebagai manusia. Kita seperti diajak bercermin,
melihat lebih dalam tentang hakikat keberadaan kita sebagai manusia.
Naninu, sosok robot yang berupa perempuan cantik berusia
sekitar 50 tahun, adalah seorang ilmuan yang berprestasi. Ia bekerja di sebuah
proyek pemerintah dan menjadi kepala bagian riset dan perkembangan teknologi
modern. Berkat kejeniusannya tersebut, ia sampai mau dicalonkan sebagai
presiden. Namun, Prof. Atmo Garing (ayahnya) melihat hal tersebut merupakan
kondisi yang negatif. Sampai akhirnya, Atmo Garing harus mengasingkan mahakaryanya tersebut dari dunia
luar dan mengurungnya dalam sebuah ruangan bawah tanah. Dalam kesendiriannya,
Naninu mempertanyakan alasan-alasan kenapa Atmo Garing menyekapnya diruangan
tersebut dan melarangnya mencalonkan diri sebagai presiden. Terlebih, selain
itu, dia juga dilarang menikah, dsb.
Lewat dialog-dialog panjang, Naninu menceritakan masa
lalunya sebelum dia terkurung di ruangan berdebu
tersebut. Dari dialog-dialog
panjang itu kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa Naninu adalah seorang perempuan yang berbeda dengan
perempuan kebanyakan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pernyataannya yang
menyebutkan bahwa dirinya tidak perduli pada apapun selain pada disiplin ilmu
yang ditekuninya. Selain itu, ia tidak merasa sedih, sakit hati atau kecewa
karena dikurung oleh ayahnya di ruangan tersebut. Sungguh sesuatu yang
paradoks. Ketika seharusnya seorang perempuan lebih menggunakan perasaannya,
Naninu malah kebalikannya.
Ketidak-perdulian yang
digambarkan lewat tokoh Naninu ini merupakan potret dari sebagian besar
masyarakat kita. Selain itu, mungkin banyak juga masyarakat atau bahkan kita
sekalipun kadang tidak mempergunakan perasaan kita dalam berbicara, berprilaku,
bertindak atau apapun itu sejenisnya. Kondisi tersebut merupakan ciri-ciri
masyarakat yang tidak waras/sakit. “Solilokui Naninu” karya Bram
Gerung ini sangat jelas menyinggung persoalan perilaku manusia di era sekarang
ini. Manusia tidak lagi perduli pada yang lain selain pada dirinya sendiri,
tidak lagi perduli soal perasaan.
Naninu terus mempertanyakan kenapa dirinya dikurung,
sampai akhirnya dia mulai curiga pada Atmo Garing (ayahnya) dan pada dirinya
sendiri. Ia mulai berpikir
bahwa Ayahnya sedang menyembunyikannya karena dia adalah masa lalu yang kelam bagi ayahnya. Naninu
pun berontak, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Naninu
mengambil benda tajam yang ada di ruangan tersebut lalu menusukkannya ke
perutnya. Naninu terkejut saat ia harus menyaksikan bahwa yang keluar dari
perutnya bukanlah darah tapi serangkaian kabel berbungkus silikon.
Sampai-sampai pada saat itu pun ia meneteskan air mata.
Mendengar teriakan Naninu memanggil-manggil Atmo Garing,
akhirnya Atmo Garing memasuki ruangan tersebut. Namun, Atmo Garing tidak hendak
mendekati Naninu untuk memperbaikinya, melainkan ia hanya berbicara menjelaskan
apa yang sebenarnya terjadi. Lewat dialog yang singkat, Atmo Garing menjelaskan
bahwa Naninu adalah mahakaryanya yang amat sempurna, sampai ia kadang lupa
kalau Naninu itu hanyalah robot. Atmo Garing pun menjelaskan bahwa ia
sebenarnya ingin memusnahkan Naninu begitu ia tahu Naninu dicalonkan sebagai
Presiden. Kekhawatirannya adalah bagaimana bisa sebuah Negara dipimpin oleh
robot yang tidak bisa perduli pada banyak hal dan tidak bisa menggunakan
perasaan sebagai salah satu pijakan dalam bertindak.
Dari dua adegan tersebut, Bram Gerung lewat Dramanya
“Solilokui Naninu”, semakin mempertegas pandangannya tentang kondisi
manusia-manusia pada saat ini. Dari dua adegan tersebut, kita juga dapat
membayangkan bagaimana jadinya jika sebuah Negara, atau lebih kecilnya sebuah
kota mungkin, dipimpin oleh manusia yang sama sekali tidak punya keperdulian
terhadap apapun, selain dirinya, selain itu, ia tidak melibatkan perasaannya
dalam setiap ucapan dan tindakannya. Bagaimana bisa masyarakat dipimpin oleh
manusia semacam itu?
Terkadang kita perlu ruang tersendiri untuk memahami
keberadaan kita sebagai manusia. Dalam kesendirian, manusia cenderung akan
lebih memahami hakikat dirinya dan hakikat hidupnya. Manusia dalam hidupnya
harus mampu mengatur dirinya agar tetap seimbang dalam menggunakan pikiran dan
perasaannya. Karena manusia yang lebih dominan mempergunakan pikirannya tanpa
melibatkan perasaannya dalam setiap tindakannya, bagaikan robot berwujud
manusia.
Maju terus kesenian di Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar