Beberapa foto, catatan pertunjukan, serta penghargaan menjadi ucapan
selamat datang bagi siapapun yang hendak menyaksikan pertunjukan Teater Gading
SMAN 1 Leuwiliang di Gedung Kesenian Kamuning Gading, Sabtu 06 April 2013
kemarin. Sebuah pameran yang cukup mengejutkan bahwa ternyata, kelompok teater
dari barat Bogor ini memiliki jam terbang yang cukup banyak dengan prestasi
yang banyak pula. Perlu diketahui bahwa “Dongen Emak” merupakan produksi Teater
Gading yang ke- 12 dan sempat dipentaskan sebelumnya di IPB.
Pertunjukan yang tadinya dijadwalkan empat kali itu, rupanya dipangkas
menjadi tiga kali (pukul 13.00 wib, 16.00 wib, dan 19.00 wib). Penonton, yang
didominasi pelajar SMU dan mahasiswa, secara bergantian menyaksikan lakon
“Dongeng Emak” (fragmen dari lakon “Kapai-Kapai” karya Arifin C. Noer) yang
dibawakan Teater Gading. Karena beberapa alasan, saya memilih jadwal terakhir.
Toh, saya pikir sajiannya tidak akan jauh berbeda, meskipun belakangan saya
baru tahu, bahwa masing-masing pertunjukan dimainkan oleh aktor yang berbeda.
Saya sangat antusias untuk melihat pertunjukan Teater Gading ini,
terutama karena lakon yang mereka bawakan. “Dongeng Emak”, meskipun hanya
fragmen atau potongan cerita, punya bobot yang cukup berat. Wacana yang
diangkat dalam lakon itu bukanlah persoalan sederhana yang berangkat dari
sebuah kejadian sehari-hari, tapi lebih merupakan persoalan absurditas dalam
kehidupan manusia, yang syarat dengan simbol baik dalam tokoh, adegan, maupun gaya
bahasa. Oleh karena itu saya bertanya-bertanya, sejauh mana daya ungkap Teater
Gading dalam menginterpretasi dan mempresentasikan lakon tersebut, mengingat
kelompok teater itu merupakan teater pelajar?
Cukup mengejutkan ketika melihat bahwa Teater Gading tidak menggunakan
panggung Gedung Kesenian Kamuning Gading sebagai lokasi pertunjukan. Mereka
menggelar pertunjukannya di depan panggung gedung. Sepertinya mereka menyadari
beberapa kelemahan yang dimiliki Gedung Kesenian Kamuning Gading, mulai dari akustik
gedung yang tidak baik hingga jarak penonton-panggung yang terlalu jauh. Mereka
tampak ingin membawa pertunjukan ini lebih dekat secara fisik dengan penonton,
hingga pertunjukan itu pun terasa semi teater arena.
Menurut Diding Hasannudin, pembina Teater Gading sekaligus pengajar
sastra di SMUN 1 Leuwiliang, Teater Gading memang sengaja menggunakan konsep
teater tradisional. Mereka ingin penonton bisa melihat pertunjukan dari dekat
dengan harapan keterlibatan emosional dan imajinasi pun akan mudah terbangun.
Dengan kecendrungan setia terhadap teks, Fahmi Reza, sang sutradara pertunjukan, memilih
menggunakan konsep surealis dalam menyajikan pertunjukannya. Di bagian belakang
panggung terdapat alas tidur sederhana, tempat Abu berbaring mendengar dongeng Ibunya.
Di belakang tempat tidur itu, sebuah dinding membentang dengan warna putih di
tengah dan diapit oleh warna hitam yang memanjang ke samping. Rupanya hal itu
tidak hanya dimaksudkan sebagai simbol dualisme, tapi juga dipergunakan untuk
membuat siluet penari pada salah satu adegan. Di sebelah kanan panggung, sebuah
menara berbahan bambu menjulang dengan tinggi sekitar empat meter. Di atas
menara itu tokoh Bulan berdiam diri. Di sebelah kiri, dengan posisi yang lebih
tinggi dari tempat tidur dan lebih rendah dari menara, duduklah Sang Kelam. Di
bagian depan, kiri dan kanan, terdapat trap yang ditata sedemikian rupa.
Sementara panggung bagian tengah dibiarkan kosong tanpa properti.
Konsep pencahayaan dalam pertunjukan ini boleh dibilang sederhana dengan
hanya mengandalkan beberapa lampu, yang digunakan seperlunya sehingga
pertunjukan pun cenderung tidak terlalu terang. Mungkin hal itu dimaksudkan
untuk menselaraskan dengan suasana cerita. Sedangkan konsep musik yang
digunakan cukup megah. Perpaduan alat musik tradisi dan modern menghasilkan
bunyi-bunyi yang ramai. Ditambah lagi dengan lagu-lagu di sela pertunjukan yang
kebanyakan bernuansa balada. Tidak begitu serasi, menurut saya, jika melihat
naskah yang dibawakan. Ditambah lagi dengan kurangnya kontrol volume yang
menyebabkan beberapa dialog menjadi tidak terdengar karena musik yang terlalu
ramai. Tentu saja hal itu sangat disayangkan, apalagi mengingat kuatnya unsur
dialog atau bahasa dalam lakon tersebut.
Secara kronologis, alur cerita memang dapat ditangkap dengan mudah.
Dengan sederhana kita bisa menangkap bagaimana pencarian Abu akan kebahagiaan
di tengah tuntutan hidup yang berkesan menyiksa. Abu kerap kali berada di
antara imajinasi dan kenyataan, antara harapan dan hambatan. Hal itu diperkuat
dengan penggunaan simbol-simbol dan pengulangan adegan, yang kemudian
mengerucut menjadi gagasan yang ingin dimunculkan penggarap. Jawaban pun
kemudian muncul dari seorang Ulama yang menyarankan Abu untuk kembali ke jalan
Tuhan, yaitu agama. Dan rupanya memang pesan itu pula yang ingin disampaikan
dalam pertunjukan ini. Begitu sederhana namun mendasar. Diding sendiri mengakui
tingkat kesulitan lakon “Dongen Emak” dan dia tidak terlalu berharap bahwa baik
pemain ataupun penonton akan memperoleh maksud yang lebih dalam.
Namun saya menyayangkan jika pertunjukan itu hanya dijadikan bahan
eksplorasi semata (dan semoga saja tidak) hingga Teater Gading mengenyampingkan
elemen-elemen lain yang juga penting. Apa yang saya lihat pada pertunjukan itu
pun sungguh di luar ekspektasi. Sebelumnya, saya pernah menyaksikan pertunjukan
Teater Gading, dan menurut saya mereka memiliki bentuk yang khas dengan tawaran
yang menarik. Penggarapan lakon “Dongen Emak” pun menurut saya masih
mempertahankan ciri khas Teater Gading, namun sepertinya naskah yang dipilih
terlalu berat hingga tidak tersampaikan dengan baik. Saya membayangkan, mereka
tentu akan lebih bisa menyajikan pertunjukan secara lebih maksimal jika memilih
naskah yang lebih ringan.
Salam sukses untuk Teater Gading, sampai jumpa di peristiwa kesenian
berikutnya.
Mubabrok
Penikmat seni
Keren hehe (aku pemainnya)
BalasHapuspemusik hadir hehe
BalasHapus