Rabu, 10 April 2013

“Dongeng Emak”: Eksplorasi Teater Gading



Beberapa foto, catatan pertunjukan, serta penghargaan menjadi ucapan selamat datang bagi siapapun yang hendak menyaksikan pertunjukan Teater Gading SMAN 1 Leuwiliang di Gedung Kesenian Kamuning Gading, Sabtu 06 April 2013 kemarin. Sebuah pameran yang cukup mengejutkan bahwa ternyata, kelompok teater dari barat Bogor ini memiliki jam terbang yang cukup banyak dengan prestasi yang banyak pula. Perlu diketahui bahwa “Dongen Emak” merupakan produksi Teater Gading yang ke- 12 dan sempat dipentaskan sebelumnya di IPB.
Pertunjukan yang tadinya dijadwalkan empat kali itu, rupanya dipangkas menjadi tiga kali (pukul 13.00 wib, 16.00 wib, dan 19.00 wib). Penonton, yang didominasi pelajar SMU dan mahasiswa, secara bergantian menyaksikan lakon “Dongeng Emak” (fragmen dari lakon “Kapai-Kapai” karya Arifin C. Noer) yang dibawakan Teater Gading. Karena beberapa alasan, saya memilih jadwal terakhir. Toh, saya pikir sajiannya tidak akan jauh berbeda, meskipun belakangan saya baru tahu, bahwa masing-masing pertunjukan dimainkan oleh aktor yang berbeda.
Saya sangat antusias untuk melihat pertunjukan Teater Gading ini, terutama karena lakon yang mereka bawakan. “Dongeng Emak”, meskipun hanya fragmen atau potongan cerita, punya bobot yang cukup berat. Wacana yang diangkat dalam lakon itu bukanlah persoalan sederhana yang berangkat dari sebuah kejadian sehari-hari, tapi lebih merupakan persoalan absurditas dalam kehidupan manusia, yang syarat dengan simbol baik dalam tokoh, adegan, maupun gaya bahasa. Oleh karena itu saya bertanya-bertanya, sejauh mana daya ungkap Teater Gading dalam menginterpretasi dan mempresentasikan lakon tersebut, mengingat kelompok teater itu merupakan teater pelajar?
Cukup mengejutkan ketika melihat bahwa Teater Gading tidak menggunakan panggung Gedung Kesenian Kamuning Gading sebagai lokasi pertunjukan. Mereka menggelar pertunjukannya di depan panggung gedung. Sepertinya mereka menyadari beberapa kelemahan yang dimiliki Gedung Kesenian Kamuning Gading, mulai dari akustik gedung yang tidak baik hingga jarak penonton-panggung yang terlalu jauh. Mereka tampak ingin membawa pertunjukan ini lebih dekat secara fisik dengan penonton, hingga pertunjukan itu pun terasa semi teater arena.
Menurut Diding Hasannudin, pembina Teater Gading sekaligus pengajar sastra di SMUN 1 Leuwiliang, Teater Gading memang sengaja menggunakan konsep teater tradisional. Mereka ingin penonton bisa melihat pertunjukan dari dekat dengan harapan keterlibatan emosional dan imajinasi pun akan mudah terbangun.
Dengan kecendrungan setia terhadap teks, Fahmi  Reza, sang sutradara pertunjukan, memilih menggunakan konsep surealis dalam menyajikan pertunjukannya. Di bagian belakang panggung terdapat alas tidur sederhana, tempat Abu berbaring mendengar dongeng Ibunya. Di belakang tempat tidur itu, sebuah dinding membentang dengan warna putih di tengah dan diapit oleh warna hitam yang memanjang ke samping. Rupanya hal itu tidak hanya dimaksudkan sebagai simbol dualisme, tapi juga dipergunakan untuk membuat siluet penari pada salah satu adegan. Di sebelah kanan panggung, sebuah menara berbahan bambu menjulang dengan tinggi sekitar empat meter. Di atas menara itu tokoh Bulan berdiam diri. Di sebelah kiri, dengan posisi yang lebih tinggi dari tempat tidur dan lebih rendah dari menara, duduklah Sang Kelam. Di bagian depan, kiri dan kanan, terdapat trap yang ditata sedemikian rupa. Sementara panggung bagian tengah dibiarkan kosong tanpa properti.
Konsep pencahayaan dalam pertunjukan ini boleh dibilang sederhana dengan hanya mengandalkan beberapa lampu, yang digunakan seperlunya sehingga pertunjukan pun cenderung tidak terlalu terang. Mungkin hal itu dimaksudkan untuk menselaraskan dengan suasana cerita. Sedangkan konsep musik yang digunakan cukup megah. Perpaduan alat musik tradisi dan modern menghasilkan bunyi-bunyi yang ramai. Ditambah lagi dengan lagu-lagu di sela pertunjukan yang kebanyakan bernuansa balada. Tidak begitu serasi, menurut saya, jika melihat naskah yang dibawakan. Ditambah lagi dengan kurangnya kontrol volume yang menyebabkan beberapa dialog menjadi tidak terdengar karena musik yang terlalu ramai. Tentu saja hal itu sangat disayangkan, apalagi mengingat kuatnya unsur dialog atau bahasa dalam lakon tersebut.
Secara kronologis, alur cerita memang dapat ditangkap dengan mudah. Dengan sederhana kita bisa menangkap bagaimana pencarian Abu akan kebahagiaan di tengah tuntutan hidup yang berkesan menyiksa. Abu kerap kali berada di antara imajinasi dan kenyataan, antara harapan dan hambatan. Hal itu diperkuat dengan penggunaan simbol-simbol dan pengulangan adegan, yang kemudian mengerucut menjadi gagasan yang ingin dimunculkan penggarap. Jawaban pun kemudian muncul dari seorang Ulama yang menyarankan Abu untuk kembali ke jalan Tuhan, yaitu agama. Dan rupanya memang pesan itu pula yang ingin disampaikan dalam pertunjukan ini. Begitu sederhana namun mendasar. Diding sendiri mengakui tingkat kesulitan lakon “Dongen Emak” dan dia tidak terlalu berharap bahwa baik pemain ataupun penonton akan memperoleh maksud yang lebih dalam.
Namun saya menyayangkan jika pertunjukan itu hanya dijadikan bahan eksplorasi semata (dan semoga saja tidak) hingga Teater Gading mengenyampingkan elemen-elemen lain yang juga penting. Apa yang saya lihat pada pertunjukan itu pun sungguh di luar ekspektasi. Sebelumnya, saya pernah menyaksikan pertunjukan Teater Gading, dan menurut saya mereka memiliki bentuk yang khas dengan tawaran yang menarik. Penggarapan lakon “Dongen Emak” pun menurut saya masih mempertahankan ciri khas Teater Gading, namun sepertinya naskah yang dipilih terlalu berat hingga tidak tersampaikan dengan baik. Saya membayangkan, mereka tentu akan lebih bisa menyajikan pertunjukan secara lebih maksimal jika memilih naskah yang lebih ringan.
Salam sukses untuk Teater Gading, sampai jumpa di peristiwa kesenian berikutnya.

Mubabrok
Penikmat seni

2 komentar: